7 Des 2010

Kontroversi Jogja

Keistimewaan Jogjakarta seharusnya tidak usah dipertanyakan statusnya. Masalah jabatan gubernur yang sekaligus sebagai seorang sultan, bukanlah masalah. Biarlah Jogjakarta seperti itu. Yang mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia.
Seharusnya masalah RUU tidak dibesar-besarkan. Toh, Jogjakarta sangatlah berjasa pada masa-masa kemerdekaan Indonesia. Ini adalah beberapa keistimewaan Jogjakarta yang tak perlu dipertanyakan:

  • Satu, pada waktu proklamasi kemerdekaan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, bulan September 1945 didatangi Jendral H.J. Van Moek yang bertujuan agar Negeri Ngayogyakarta tidak bergabung dengan NKRI. Yang nantinya Negeri Ngayogyakarta akan disejajarkan dengan kedudukan Kerajaan Belanda. Namun dengan tegas Sultan menolak ajakan tersebut dan menyatakan diri sebagai bagian dari NKRI.
  • Pada tanggal 2 Januari 1946, ibu kota RI pindah ke Jogjakarta karena kondisi Jakarta yang sedang gawat dan genting disebabkan oleh kedatangan sekutu. Dalam hal ini, yang pindah hanya elit politik saja. Dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sekali lagi menolong para elit politik dengan tangan terbuka menjamu para tamu tersebut. Bahkan Gedung Agung saat itu direlakan menjadi Istana Nagara dan disediakan mobil sebagai alat transportasi kenegaraan.
  • Pada waktu Serangan Umum 1 Maret 1949 (Agresi Militer Belanda II), Indonesia menunjukkan kepada PBB adanya perlawanan yang berhasil menduduki kota Jogjakarta selama 6 jam oleh Letkol Soeharto atas ide dan gagasan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dari sejumlah informasi bahwa serangan ini  lewat Selokan Mataram (selokan bawah tanah untuk menyerang pos-pos Belanda). Menurut mata-mata Belanda, pasukan ini, selesai melakukan serangan (dengan melewati Selokan Mataram) bergerak menuju ke Keraton Ngayogyakarta. Kemudian , Belanda ingin menggeledah isi keraton. Namun dengan tegas Sri Sultan Hamengku Buwono IX tidak mengizinkannya dan Belanda kembali dengan tangan hampa (karena kedudukan Negeri Ngayogyakarta sama dengan Kerajaan Belanda).
Atas jasa-jasa Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Jogjakarta diberikan status Daerah Istimewa oleh Presiden Soekarno, yang mana jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dipangku oleh Sri Sultan dan Paku Alam.
Jelaslah sudah keistimewaan dari Jogjakarta. Masalah RUU tak usah dipermasalahkan lagi. Pemilu di Jogjakarta hanya akan membuang-buang uang saja. Karena Pemilu pada dasarnya akan menelan biaya yang tidak sedikit. Biarkanlah jabatan tersebut dirangkap oleh Sri Sultan. Memang itu adalah ciri khas keistimewaan Jogjakarta.
Apabila dilakukan referandum maka pastilah rakyat Jogjakarta tetap berkehendak demikian. Indonesia akan mendapati kerugian jika Jogjakarta menjadi negara yang berdiri sendiri. Karena Jogjakarta sangatlah mampu dalam hal itu.